UBM Melaksanakan Penyuluhan Komunikasi “ACT – Acceptance, Caring, & Tolerance”
Empati dalam Aksi: Mewujudkan Inklusi Lewat Interaksi
Jakarta, 24 April 2025 — Dosen-dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Bunda Mulia (UBM) menggelar acara dengan judul “Acceptance, Caring, and Tolerance—Empathy in Action: Mewujudkan Inklusi Lewat Interaksi” yang bertujuan untuk membangun kesadaran inklusi bagi anak-anak berkebutuhan khusus (AbK). Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber kompeten, yaitu Fransisca Febriana Sidjaja, Ph.D., seorang psikolog anak, dosen, dan peneliti, serta Yesica Yuliani Clara, M.I.Kom., Ketua Yayasan Lentera Cita Karya, pendidik, dosen, sekaligus praktisi komunikasi, bersama Surianto, S.I.Kom., M.I.Kom, ketua pelaksana kegiatan rangkaian Pengabdian kepada Masyarakat (PkM), yang turut menjadi moderator pada sarasehan yang berlangsung. Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa UBM, para dosen, anak-anak berkebutuhan khusus dengan dampingan orang tua dan guru mereka.
Fransisca menjelaskan bahwa selama ini terdapat dua pandangan utama terhadap anak berkebutuhan khusus. Pandangan pertama berasal dari dunia medis yang cenderung memandang kondisi mereka sebagai penyimpangan atau ketidaknormalan berdasarkan tolak ukur usia tumbuh kembang anak. Misalnya, anak yang belum mampu berbicara satu kata pun pada usia dua tahun dianggap mengalami gangguan perkembangan. Namun, dalam dua dekade terakhir, muncul pandangan baru yang lebih inklusif. Anak berkebutuhan khusus kini dipandang sebagai individu dengan kondisi neurologis yang unik, bukan sebagai penderita penyakit. “Saat seseorang merasa diterima oleh orang terdekatnya, misalnya keluarga, ada bagian otak yang teraktivasi. Artinya, lingkungan yang menerima memberikan dampak besar bagi tumbuh kembang mereka,” jelasnya.
Yesica menekankan pentingnya kasih dalam mendampingi anak berkebutuhan khusus. Ia menjawab pertanyaan sulit orang tua “Apakah ini bisa sembuh?” dengan analogi seperti anak tanpa tangan, tangannya tak bisa tumbuh, tapi ia bisa hidup normal dengan akomodasi dan pelatihan yang tepat. Para narasumber juga menyarankan agar orang tua dan pendidik membangun kedekatan (bonding) dengan anak melalui beberapa langkah, yaitu menerima kondisi anak terlebih dahulu (acceptance), menenangkan diri saat anak mengalami tantrum, memahami pola perilaku anak secara mendalam, serta masuk ke dunia anak alih-alih memaksakan anak masuk ke dunia orang dewasa.
Selain itu, peserta juga diberikan pemahaman tentang cara menghadapi anak saat berada di ruang publik. “Jika orang tua membentak atau bahkan melakukan kekerasan fisik kepada anak berkebutuhan khusus, maka masyarakat harus berani bersuara dengan bijaksana. Dalam kondisi darurat, tindakan pelaporan ke pihak berwajib menjadi pilihan terakhir,” ujar Ibu Fransisca. Penyuluhan ini memberikan wawasan baru bahwa membangun inklusi bukan sekadar menyediakan fasilitas, melainkan menciptakan lingkungan yang accepting dan memahami anak-anak berkebutuhan khusus sebagai individu unik yang perlu didampingi, bukan diperbaiki.
Penyuluhan menjadi acara puncak dari rangkaian kegiatan PkM yang dipimpin oleh dosen-dosen program studi Ilmu Komunikasi; Surianto, S.I.Kom., M.I.Kom, Zera Edenzwo Subandi, S.I.Kom., M.I.Kom, dan Yesica Yuliani Clara, S.I.Kom., M.I.Kom. Adapun terdapat beberapa dosen yang turut aktif memberikan pelatihan selama kegiatan yaitu Dr. Irene Silviani, S.Sos., MSP., Dr. Tetti Nauli Panjaitan, dan Kho, Gerson Ralph Manuel, BA., M.I.Kom.
_ _ _
Penulis Artikel: Jennifer-Kyo (VoxNova)
Penyunting artikel: SCR
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
[email protected]
[email protected]